Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evolusi hidrotermal dari fluida pembawa mineralisasi yang terdapat di Pit Ramba Joring, meliputi temperatur, tekanan, densitas dan kedalaman pembentukan mineralisasi. Penelitian ini menggunakan analisis inklusi fluida. Sampel yang dianalisis merupakan sampel yang terindikasi terbentuk bersamaan dengan mineralisasi bijih (syngenetik), pada dua tekstur utama bijih yaitu batuan dengan tekstur silica vuggy yang terbentuk pada kisaran Th 331ºC hingga 394ºC, Tm -15,19ºC hingga -12,94ºC dengan salinitas 14,42 wt% hingga 14,89 wt%. NaCl equivalent dan batuan dengan tekstur brecciated terbentuk pada kisaran Th 287,8°C hingga 398,2°C, Tm -14,89°C hingga -11,76ºC serta salinitas 13,91 wt% hingga 4,87 wt%. NaCl equivalent. Korelasi positif antara temperatur homogenisasi pembentukan mineralisasi dengan salinitas larutan menandakan bahwa proses leaching yang membentuk rongga pada batuan terjadi pada stage awal proses alterasi hidrotermal yang diawali dengan proses leaching membentuk rongga (vuggy silica) yang diikuti proses silisifikasi dengan tekstur brecciated, pada fase ini berlangsung pengendapan mineralisasi. Asal larutan yang menjadi larutan pembentuk endapan hidrotermal merupakan jenis larutan basinal water-seawater dalam bentuk connate water yang masih dipengaruhi oleh air permukaan/meteoric water yang menunjukkan adanya indikasi hubungan dengan magmatic water. Densitas fluida pembentuk bijih logam berkisar pada 0,8 gr/cm3 sampai dengan 0,9 gr/cm3 sedangkan proses pembentukan bijih pada Pit Ramba Joring termasuk dalam isothermal mixing dengan sedikit pengaruh pemanasan/boiling.
The presence of Rare Earth Elements (REEs) is often correlated with tin (Sn), particularly at placer deposits in the Bangka Belitung Islands. However, there is limited information on the correlation between Sn and REEs. Therefore, this study aimed to investigate the correlation between REEs and Sn using data analysis of Sn-W, REEs, Y, Th, and U in granite, quartz veins, and weathered granite samples from South Bangka. The statistical analysis carried out using the Pearson correlation coefficient and multivariate processing showed that Sn-REEs have a weakly negative correlation. The examination of genetic aspects through chemical analysis, mineralogy, and Scanning Electron Microscope (SEM) data, showed that Sn and REE originated from the same magmatic fluids but different depositional phases due to magmatic-hydrothermal processes. The results show that REEs were formed during the early magmatic crystallization as mineral and stannite (Cu-Sn) in granite, while Sn was enriched as cassiterite in the deposition of late-stage hydrothermal fluid in parental granite. Moreover, the variation in deposition stage and temperature during the formation process is depicted in statistically uncorrelated values for Sn and REEs.
DOI: 10.17014/ijog.v1i2.180The gold-silver ores of western Java reflect a major metallogenic event during the Miocene-Pliocene and Pliocene ages. Mineralogically, the deposits can be divided into two types i.e. Se- and Te-type deposits with some different characteristic features. The objective of the present research is to summarize the mineralogical and geochemical characteristics of Se- and Te-type epithermal mineralization in western Java. Ore and alteration mineral assemblage, fluid inclusions, and radiogenic isotope studies were undertaken in some deposits in western Java combined with literature studies from previous authors. Ore mineralogy of some deposits from western Java such as Pongkor, Cibaliung, Cikidang, Cisungsang, Cirotan, Arinem, and Cineam shows slightly different characteristics as those are divided into Se- and Te-types deposits. The ore mineralogy of the westernmost of west Java region such as Pongkor, Cibaliung, Cikidang, Cisungsang, and Cirotan is characterized by the dominance of silver-arsenic-antimony sulfosalt with silver selenides and rarely tellurides over the argentite, while to the eastern part of West Java such as Arinem and Cineam deposits are dominated by silver-gold tellurides. The average formation temperatures measured from fluid inclusions of quartz associated with ore are in the range of 170 – 220°C with average salinity of less than 1 wt% NaClequiv for Se-type and 190 – 270°C with average salinity of ~2 wt% NaClequiv for Te-type.
There are closed spatial relationship between the different phases, the different metallic minerals, the precious-metals bearing minerals, the volcanic host rock and the plutonic intrusions of the Arinem vein system. Nine samples from Bantarhuni vein including four samples from quartz-sulfide vein from different stages and level, and five samples from altered host rock were analyzed geochemically by Induced Couple Plasma (ICP) and Induced Couple Plasma Mass Spectrometer (ICP-MS) to identified the geochemical characteristics of Bantarhuni vein system. The geochemical data obtained from the quartz-sulfide vein and altered host rock of the Bantarhuni vein is mostly similar to those obtained from Arinem vein samples. Some samples from the alteration zone have contents similar to the less altered Jampang Formation and andesitic Miocene and Pliocene intrusions rocks, with a little depletion and enrichment for some oxides. The abundance of ore and gangue minerals vary among each stage of mineralization of Bantarhuni vein. The REE in the Arinem and Bantarhuni veins considered to have been extracted by water/rock interaction between hydrothermal solution and country rocks. Some REE pattern of the mineralized Bantarhuni vein show irregularly pattern and this is could be due to high content of sulfide minerals in the samples, or due to analytical error during sample dissolution. The gold and silver contents in the Arinem and Bantarhuni veins vary very much and there is relatively low Au and Ag concentrations occur in samples from any alteration zone. There is no correlation found between gold and other major ore elements except for Ag. The highest content of Au is having low ΣREE. Keywords : Bantarhuni vein, Geochemical, quartz-sulfide vein, water-rock interaction. Terdapat hubungan spasial antara fase yang berbeda, mineral logam yang berbeda, mineral yang mengandung logam mulia, batuan induk ( host rock ) vulkanik dan intrusi plutonik dalam sistem urat Arinem. Sembilan sampel dari urat Bantarhuni yang terdiri dari empat sampel dari urat kuarsa-sulfida dari stages dan kedalaman yang berbeda, dan lima sampel dari host rock yang terubah dianalisis secara geokimia degan Induced Couple Plasma (ICP) dan Induced Couple Plasma Mass Spectrometer (ICP-MS) untuk mengidentifikasi karakteristik geokimia dari sistem urat Bantarhuni. Data analisis geokimia yang diperoleh dari urat kuarsa-sulfida dan batuan induk terubah dari urat Bantarhuni sebagian besar sama dengan yang diperoleh dari sampel urat Arinem. Beberapa sampel dari zona alterasi memiliki kandungan mirip dengan Formasi Jampang yang terubah lemah dan batuan intrusi andesit berumur Miosen dan Pliosen, dicirikan dengan sedikit pengurangan dan pengayaan untuk beberapa oksida. Kelimpahan bijih dan mineral gang bervariasi di dalam setiap tahap mineralisasi di urat Bantarhuni. REE di urat Arinem dan Bantarhuni kemungkinan diekstraksi dengan adanya interaksi air/batuan antara fluida hidrothermal dan batuan sampingnya. Beberapa pola REE dari urat Bantarhuni yang termineralisasi menunjukkan pola yang tidak teratur dan hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya kandungan mineral sulfida dalam sampel, atau karena kesalahan pada saat analisis dalam pelarutan sampel. Kandungan emas dan perak dalam urat Arinem dan Bantarhuni sangat bervariasi dan konsentrasi Au dan Ag pada sampel dari setiap zona alterasi relatif rendah. Tidak ada korelasi ditemukan antara emas dan unsur bijih utama lainnya kecuali dengan Ag. Sampel dengan kandungan Au tertinggi adalah sampel yang memiliki ΣREE rendah. Kata kunci: Urat Bantarhuni, geokimia, urat kuarsa-sulfida, interaksi air-batuan.
Grasberg Block Cave adalah tambang bawah tanah yang merupakan kelanjutan dari Cadangan Grasberg yaitu sebuah tambang terbuka yang berada di atasnya. Tambang ini juga termasuk dalam Kontrak Karya A (COW “A”) PT. Freeport Indonesia, Distrik Ertsberg, Papua. Besarnya cadangan Grasberg Block Cave tersebut pada akhir Januari 2015 adalah 1.011 milyar ton dengan kandungan tembaga (Cu) 1.% dan emas (Au) 0.77 g/t. Grasberg Block Cave adalah tipe cadangan porphyry yang memiliki kadar Cu-Au tinggi dalam material stockwork dengan bentuk sepatu kuda yang dikelilingi oleh Kali Diorite. Performa uji metalurgi merupakan refleksi dari type bijih “ore” yang dibutuhkan oleh insinyur tambang untuk mendapatkan hasil yang optimal untuk metal target. Tipe bijih yang bersih akan diproduksi lebih untuk mendapatkan perolehan metal yang tinggi jika dibandingkan dengan bijih bermasalah (problematic ore). Identifikasi bijih bermasalah “problematic ore” di tambang bawah tanah Grasberg Block Cave, yang dibahas dalam makalah, diharapkan bisa berguna dalam proses penambangan. Kajian tentang bijih “bermasalah” (problematic ore) pada cadangan Grasberg Block Cave ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan kontrol-kontrol mineralogi pada tipe ore ini guna mengurangi kerugian akibat berkurangnya perolehan mineral-mineral bijih berharga. Metode yang digunakan adalah pemetaan geologi dan sampling di lapangan, analisis XRD untuk sampel terpilih dari batuan inti hasil pemboran, serta analisis geo-metalurgi yang dilakukan di laboratorium. Jenis bijih yang bermasalah berdasarkan standar geo-metalurgi Freeport Indonesia, seperti halnya di tambang terbuka Grasberg, diprediksi juga terdapat di Grasberg Block Cave. Bijih ini dipengaruhi oleh mineral pengotor seperti mineral serisit-lempung>10%, pirit> 5%, dan mika> 15%. Oleh karena itu, pengamatan geologi di lapangan dikombinasikan dengan analisis laboratorium sangat penting untuk mengetahui bijih bermasalah pada cadangan tambang bawah tanah Grasberg Block Cave.
Lapangan Panas Bumi Sokoria terletak di Desa Sokoria, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik zonasi secara vertikal batuan penudung, transisi dan reservoar pada sumur W-1 dan W-2. Pendekatan yang digunakan adalah analisis petrografi dan analisis metilen biru (MeB) untuk mengetahui rasio ilit-smektit dan kehadiran mineral alterasi dalam batuan sebagai indikator batas zona batuan penudung, transisi dan reservoar. Uji tekanan dan temperatur (P&T Test) juga digunakan sebagai panduan dalam penentuan zonasi. Hasil yang didapat bahwa zona penudung panas bumi berada dari permukaan hingga kedalaman 700 mVD (meter vertical depth), dibuktikan oleh indeks MeB sedang – tinggi (20 – 80%) penciri smektit serta temperatur batuan sekitar 100°C. Zona transisi berada dari kedalaman 700 mVD – 1100 mVD, dibuktikan oleh indeks MeB rendah (6 – 20%) sebagai penciri ilit dan ilit-smektit serta temperatur uji mencapai 200°C. Zona reservoar berada pada kedalaman 1100 mVD, dicirikan oleh indeks MeB sangat rendah (<10 %) sebagai penciri ilit serta kemunculan epidot pada sumur W-1 di kedalaman 1119 mMD (meter measured depth) dan sumur W-2 di kedalaman 1338 mMD, uji P&T menunjukkan temperatur reservoar dapat mencapai 250°C.
Pomalaa is administratively located in Kolaka Regency, Southeast Sulawesi Province. The nickel mining business area in Pomalaa is managed by State-Owned Enterprises and Private Enterprises. Pomalaa is a sub-district that has natural resources in the form of nickel. Nickel Laterite deposits is a result weathering of ultramafic rock that is leaching process and accumulates in the supergen enrichment zone. The lateritization factor is controlled by lithology, morphology, and structure. In general, the profile of laterite nickel deposits in the North Mine area from top to bottom consists of top soil, limonite, saprolite, and bedrock zones. The laterite nickel precipitate in the North Mine shows varying thickness, based on color, texture, size and mineral composition. Laterite deposits from drilling results reaches an range of 25 - 30 meters. Soil and rocks sampling from each laterite zone every meter resulting from drilling are carried out by laboratory testing using XRF (X-Ray Fluorescence) analysis method with 283 total sample. High Ni element show enrichment in the saprolite zone, whereas in the high Fe (iron) element in the limonite zone.Keywords: nickel, laterite, geochemical, Pomalaa
Pomalaa is administratively located in Kolaka Regency, Southeast Sulawesi Province. The nickel mining business area in Pomalaa is managed by State-Owned Enterprises and Private Enterprises. Pomalaa is a sub-district that has natural resources in the form of nickel. Nickel Laterite deposits is a result weathering of ultramafic rock that is leaching process and accumulates in the supergen enrichment zone. The lateritization factor is controlled by lithology, morphology, and structure. In general, the profile of laterite nickel deposits in the North Mine area from top to bottom consists of top soil, limonite, saprolite, and bedrock zones. The laterite nickel precipitate in the North Mine shows varying thickness, based on color, texture, size and mineral composition. Laterite deposits from drilling results reaches an range of 25 - 30 meters. Soil and rocks sampling from each laterite zone every meter resulting from drilling are carried out by laboratory testing using XRF (X-Ray Fluorescence) analysis method with 283 total sample. High Ni element show enrichment in the saprolite zone, whereas in the high Fe (iron) element in the limonite zone.Keywords: nickel, laterite, geochemical, Pomalaa
Geologi daerah Pomalaa merupakan bagian dari batuan ultramafik Ofiolit Sulawesi Timur di lengan tenggara Sulawesi. Di daerah tersebut endapan laterit nikel Pomalaa terbentuk dari pelapukan batuan asal ultramafik yang didominasi oleh harzburgit terserpentinisasikan dan memiliki karakteristik tipe endapan laterit nikel hydrous Mg silicate. Lateritisasi terbentuk pada morfologi perbukitan bergelombang rendah dengan sudut kelerengan berkisar 10° sampai dengan 25°. Proses lateritisasi berlangsung dengan baik terutama pada topografi yang cenderung lebih landai yaitu 10° sampai dengan 15°, yang memungkinkan terbentuknya lateritisasi yang cukup dalam dengan zona saprolit yang tebal.