Konsep awal panasbumi secara umum tergantung beberapa aspek, diantaranya batuan sumber (heat source), struktur geologi (patahan, rekahan) yang menghubungkan pengaruh sumber panas hingga ke permukan, batuan waduk (reservoir), dan batuan penutup, meteoric water. Pengembagan dari suatu konsep tersebut akan didapatkan sistem yang sangat tergantung jenis manifestasi yang didapatkan di lapangan panasbumi, diantaranya tipe gunungapinya (multi/ single cone), tipe reservoir, tipe air panas, jenis magmanya, batuannya, alterasi, lingkungan volkaniknya, dan sebagainya. Sistem panasbumi daerah Dieng, Jawa Tengah ditunjukkan oleh terjadinya multi kerucut (cone) gunungapi, yang muncul di dalam suatu kaldera tua G. Prahu. Multi kerucut gunungapi mengalami erupsi freatik membentuk kawah-kawah, seperti kawah Sleri, Sikidang, Candradimuka, dan sebaginya. Batuan hasil erupsi didapatkan di sekitar kawah umumnya lava basalt, andesit sebagian terpropilitisasi yang ditandai oleh munculnya khlorit, kalsit dan epidot, dan batuan piroklastik (tuf breksi) mengalami argilitisasi lemah hingga total yang dicirikan oleh montmorillonit, kaolinit, haloisit, ilit disertai adanya sedikit silika. Batuan volkanik yang didapatkan dari arah Barat dan Utara (kampung TempurWanayasa, Candradimuka, Siglagah) ke arah Timur dan Tenggara (Pulosari, Sleri, Sikidang, Merdada, Cebong) terjadi perbedaan sifat batuan yaitu basalt berubah menjadi andesit dan riodasit. Hasil analisis kimia batuan dapat diinterpretasikan : hubungan Neobium(Nb)/Zircon(Zr)*100 dengan Ytrium (Y) menunjukkan bahwa batuan volkanik daerah Dieng terletak di lingkungan backarc side-volcaneous. Sampel air panas yang diambil dari lokasi-lokasi umumnya menunjukkan tipe bikarbonat, kecuali Pulosari dan Sleri adalah tipe Khlorida-bikarbonat, dan Sikidang tipe air volkanik (Khlorida-Sulfat). Pengukuran unsur-unsur Radon pada air panas muncul di Sleri dan Wanayasa, sedangkan pada soil muncul di Wanayasa dan Sikidang. Munculnya Radon ini dapat sebagai indikasi zona permeabilias (struktur patahan). Interpretasi hasil pengukuran magnetotelurik (MT), bahwa daerah Dieng terjadi suatu depresi dan diduga di bawah depresi tersebut terdapat sumber panas.
Dalam rangka mempelajari karakteristik Zona Sesar Cimandiri (ZSC), telah dilakukan pengukuran metode gravitasi di sekitar Pelabuhanratu. Kegiatan ini menghasilkan 53 data pengukuran baru dengan interval jarak 750-1500 meter (selanjutnya disebut GCG16). Untuk menggambarkan tingkat kualitas data yang dihasilkan, GCG16 dievaluasi dengan cara dibandingkan dengan dataset gravitasi skala regional dan global terpublikasi. Secara visual peta GCG16 memperlihatkan pola anomali gravitasi yang sama dengan data gravitasi regional (GRAV-P3G), model geopotensial global data satelit (EIGEN-6S2 dan GO_CONS_GCF_2_DIR_R5), serta model geopotensial global kombinasi (EGM2008 dan EIGEN-6C4). Dataset GRAV-P3G yang juga merupakan hasil pengukuran terestrial menunjukkan tingkat kesesuaian paling tinggi dengan GCG16. Sementara model potensial global kombinasi menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih baik jika dibandingkan dengan model geopotensial data satelit. Keenam dataset memperlihatkan pola Anomali Bouguer tinggi di bagian selatan area penelitian, mengindikasikan kontribusi dari frekuensi rendah. Variasi anomali tinggi di sekitar Sungai Cimandiri tidak teramati pada data gravitasi satelit, diinterpretasikan sebagai kontribusi dari frekuensi tinggi (berkorelasi dengan kondisi bawah permukaan lebih dangkal). Oleh karena itu untuk mempelajari struktur dangkal CFZ perlu dilakukan pemisahan anomali residual dari anomali regionalnya. Analisis First Horizontal Derivative (FHD) dan First Vertical Derivative (FVD) tidak menunjukkan kehadiran ZSC pada segmen timur GCG16, dan mengindikasikan ZSC sebagai sistem sesar yang tersegmentasi. To study the characteristics of the Cimandiri Fault Zone (CFZ), gravity method measurement has been done around Pelabuhanratu. This activity resulted in 53 new measurement data with intervals of 750-1500 meters (hereafter referred to as GCG16). To illustrate the quality level of resulted data, GCG16 was evaluated by comparing with published regional and global scale gravity datasets. Visually, GCG16 maps show the same gravity anomalies pattern with regional gravity data (GRAV-P3G), global geopotential model of satellite data (EIGEN-6S2 and GO_CONS_GCF_2_DIR_R5), as well as combined global geopotential model (EGM2008 and EIGEN-6C4). GRAV-P3G dataset, which is also a result of terrestrial measurement, shows the highest agreement level to GCG16. The six datasets show a high Bouguer Anomaly pattern in the southern part of the research area, indicating the contribution of low frequencies. High anomaly variations around the Cimandiri River were not observed in satellite gravity data and interpreted as high frequencies contribution (correlated with more superficial subsurface conditions). Therefore, to study the shallow structure of the CFZ, it is necessary to separate the residual anomaly from the regional anomaly. First Horizontal Derivative (FHD) and First Vertical Derivative (FVD) analysis do not show the presence of CFZ in the eastern segment of GCG16 and indicate that CFZ is a segmented fault system.
Kompleks pegunungan tengah Jawa Barat merupakan kompleks yang relatif luas dibandingkan dengan kompleks gunungapi lainnya di Pulau Jawa. Cekungan Bandung-Garut berada di tengah kompleks pegunungan tersebut. Kedua cekungan dikelilingi oleh endapan batuan gunungapi piroklastik dan terpisahkan oleh deretan gunungapi kuarter dengan endapan lava yang lebih muda. Kesamaan kondisi geologi-morfologi seperti itu menunjukkan adanya kemungkinan bahwa kedua cekungan tersebut merupakan satu sistim dalam proses perkembangan geologinya. Untuk mempelajari dengan lebih baik evolusi tektonik daerah ini, perlu dilakukan pemodelan bawah permukaan. Dalam tahun penelitian ini, pemodelan bawah permukaan dilakukan pada daerah cekungan Garut dengan lintasan yang memotong deretan gunungapi kuarter. Pengukuran magnetotelurik dan audio-magnetotelurik telah dilakukan pada 26 titik dalam satu lintasan sepanjang 51 km dari Leuwigoong hingga Cimonce. Hasil inversi tahanan jenis untuk pemodelan bawah permukaan menunjukkan setidaknya ada dua tahap proses tektonik. Pada tahap pertama (Tersier) terbentuk dua cekungan yang dibatasi oleh sesar-sesar turun yang membentuk struktur horst dan graben. Struktur demikian menunjukan proses regangan yang lebih dominan pada saat itu. Kemudian pada tahap kedua (Kuarter), batuan terendapkan horisontal tanpa banyak gangguan, yang menunjukkan keadaan tektonik relatif stabil. Kata kunci: magnetotelurik, tahanan jenis, Cekungan Bandung-Garut,tektonik.
Abstract Lembang groundwater basin has an area of 209 km 2 . Increased tourism activities in the Lembang Groundwater Basin require sufficient groundwater resources to support the sustainability of these tourism activities. The purpose of this study was to analyze the hydrostratigraphy of the groundwater recharge zone of the Lembang groundwater basin in the Cikole-Lembang. Electrical Resistivity Tomography (ERT) with dipole–dipole electrode array and seismic refraction was used to analyze the hydrostratigraphy. The results of ERT and seismic refraction inversion show that Tangkubanparahu Pyroclastic Fall 2 can be characterized as aquifers. This layer consists of low (123–292 $$\Omega $$ Ω m) and intermediate (293–700 $$\Omega $$ Ω m) resistivity value and also has low (300–1350 m/s) to medium (2700–1350 m/s) velocity. Tangkubanparahu lava (Tl) layer has a high resistivity value (701–3875 $$\Omega $$ Ω m) and high (1350–2999 m/s) velocity. The Tangkubanparahu Pyroclastic Fall 1 has a resistivity of 300–700 ohms. Tangkubanparahu (Tl) lava deposits can be characterized as fracture aquifer and impermeable layers in the Tangkubanparahu volcanic hydrogeological system depend on the historical structural geology event.
The study of soil hydrological characteristics is expensive and time-consuming due to its exercises drilling, test pit, and even trenching. The electrical resistivity tomography (ERT) technique is known as one of the viable methods for determining soil resistivity as a proxy for soil water content. The research has been done in three resistivity lines at the sloping agroforestry land system in West Java province-Indonesia. Soil resistivity value in the Pangalengan line transect ranges from 4.3-2500 Ω, Mandalahaji line transect ranges from 23-288 Ω, and Kiara Payung line transect ranges from 24-500 Ω. Soil resistivity under the agroforestry land system was higher than non-agroforestry land. Soil resistivity is firmly related to the soil water content with an inverse pattern. The use of woody tree species as a water absorber in the agroforestry farming system was the potential to prevents rapid soil saturation and maintain the stability of the steep area. In the steep area, the saturated condition decreases soil shear strength and increases the load on the upper slope so that it triggers soil mass movement.
Geofisika merupakan ilmu yang mempelajari bumi dengan menggunakan prinsip-prinsip fisika, salah satu metode dalam geofisika adalah metode magnetotellurik yang memanfaatkan konsep elektromagnetik. Data magnetotellurik yang diperoleh dari akuisisi di lapangan tidak lepas dari gangguan noise sehingga perlu dilakukan pengolahan data. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengolahan data magnetotellurik sehingga diperoleh model penampang resistivitas secara 2-dimensi di daerah Gunung Meraksa-Tasim, Sumatera Selatan. Metode magnetotellurik merupakan metode eksplorasi geofisika pasif dimana dilakukan pengukuran medan listrik dan medan magnet alami yang berubah-ubah dalam fungsi waktu. Data akuisisi lapangan diolah dengan menggunakan software SSMT 2000 dan MT-Editor serta diinversi dengan menggunakan software WinGLink. Hasil pengolahan data berupa grafik apparent resistivity dan phase dalam fungsi frekuensi. Model resisitivitas terhadap kedalaman diperoleh dari hasil inversi yang menunjukan struktur berupa lipatan, pendugaan patahan dan struktur berlapis-lapis dari resisitivitas bawah permukaan daerah penelitian. Struktur berlapis-lapis disebabkan karena proses pembentukan daerah penelitian yang merupakan daerah cekungan sedimen.
Abstract An ENE‐WSW‐trending localized basalt‐diabase outcrop along the SE margin of Luk Ulo Mélange Complex has been suggested as intrusive rocks cut through the Paleogene Totogan and Karangsambung formations. However, the absolute dating of the volcanics is older than the inferred relative age of the sedimentary formations, hence the in‐situ intrusion theory is less likely. A subsurface imaging should delineate the possibility of the in‐situ nature of volcanic rock by looking at the continuation of the rocks to the depth. In this study, we did a subsurface imaging by electrical resistivity method. The electrical resistivity surveys were conducted at 3 (three) lines across the ENE‐WSW trend of the volcanic distribution. From those three measurements, we obtained three inversion models that present the distribution of the resistivity. We could differentiate between the high resistivity of volcanic rocks and the low resistivity of the clay‐dominated sediments. Instead of the deep‐rooted intrusions, the geometry of the volcanic rocks is concordant with the sedimentary strata. Since we do not observe any spatial continuity of the bodies, both laterally and vertically, the volcanic rocks might be part of broken intrusive rocks. Furthermore, the size and the sporadically distributed of the rocks also indicated that they are more likely as fragments during the olistostrome deposition, transported from its original location.
Abstract Small islands depend on rainwater as a source of water. Climate variability affects changes in groundwater chemistry on small islands. Pari Island is one such small island, located in Indonesia, with an area of 41.32 ha and a population of 1,441. This study aims to assess the vulnerability of groundwater quality to climate variability based on observations from Pari Island, including the influence of tourism on groundwater. The study used traditional hydrochemistry analysis methods (Piper, Durof, Scholler, and Gibb’s diagrams), a questionnaire survey, and Standardized Precipitation Evapotranspiration Index (SPEI) analysis. The results indicate a strong correlation between SPEI-2 and the total dissolved solid content of groundwater, demonstrating that two-monthly interval precipitation has an impact on groundwater quality. The hydro chemical analysis of samples taken from dug wells shows that, geographically, the influence of climate variability on Pari Island weakened from west to east, corresponding to patterns related to the direction of the monsoon winds of tropical Indonesia. Increased tourism worsened groundwater vulnerability due to increased water demand and resultant wastewater load.